Walkability merupakan sebuah indikasi seberapa ramah suatu area untuk dapat dilalui dengan berjalan kaki. Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat area berjalan kaki termasuk ada atau tidaknya kualitas jalan setapak, trotoar atau hak jalan pejalan kaki lainnya, lalu lintas dan juga kondisi jalan, antara lain pola penggunaan lahan, aksesibilitas bangunan, dan keamanan sekitar area pejalan kaki.
Lalu, bagaimana dengan mobilisasi pejalan kaki di Indonesia?
Di Universitas Gadjah Mada, 59% mahasiswa mengendarai motor ke kampus. Demikian pula, di Universitas Brawijaya di Malang, penggunaan sepeda motor mendominasi sebesar 53,1%.
Jika melihat data dari beberapa kampus di Indonesia, lebih dari setengah mahasiswa memilih untuk menggunakan kendaraan bermotor sebagai moda transportasi mereka. Tapi apa sih alasannya?
- Lebih menghemat waktu dan tidak membuat lelah
- Fasilitas untuk pejalan kaki yang sangat buruk
- Indonesia adalah negara dengan dua musim, kemarau dan hujan. Jika musim kemarau panas dan terik dapat membuat mudah lelah, di sisi lain jika musim hujan akan membahayakan dan merepotkan.
- Kebiasaan masyarakat terhadap kemudahan teknologi sehingga menganggap berjalan kaki untuk bermobilisasi dengan jarak yang terhitung lumayan jauh adalah hal yang tidak wajar.
Tanpa disadari, dengan maraknya penggunaan kendaraan bermotor di lingkungan kampus dapat menciptakan berbagai dampak buruk. Singkatnya, peningkatan lalu lintas sepeda motor juga menyebabkan:
- Jalanan lebih berbahaya khususnya bagi para pejalan kaki
- Mengurangi aktivitas fisik karena berkurangnya ruang untuk berjalan kaki
- Serta berkurangnya ruang publik yang tersedia untuk interaksi sosial dan kolaborasi.
Di Fakultas Teknik UGM, misalnya, fasilitas lapangan basket Satu Bumi diubah menjadi tempat parkir dan lapangan bulu tangkis di Departemen Arsitektur dan Perencanaan digunakan sebagai tempat parkir sepeda motor selama jam kerja. Perubahan semacam ini membuat ruang rekreasi dan bersosialisasi bagi mahasiswa tergantikan oleh ruang mati yang hanya berisi kendaraan bermotor.
Selain itu, resiko pada keselamatan mahasiswa adalah dampak lain yang ditimbulkan dari fenomena ini. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat kecelakaan lalu lintas tertinggi di Yogyakarta terjadi di kalangan pemuda, terutama kalangan siswa SMA dan mahasiswa.
Padahal, universitas dengan fasilitas yang ramah untuk pejalan kaki dapat menimbulkan berbagai efek positif bagi lingkungan sekitarnya, lho.
Penelitian dari Stanford mengungkapkan adanya hubungan positif antara berjalan kaki dengan kemampuan berpikir kreatif. Studi mereka menunjukkan bahwa berjalan kaki secara signifikan meningkatkan pemikiran divergen yang penting untuk menghasilkan ide-ide baru.
Tidak hanya itu, sebuah studi di PubMed menunjukkan bahwa kampus yang lebih ramah pejalan kaki meningkatkan kesehatan mental dan kepuasan hidup mereka. Studi lain menemukan bahwa lingkungan yang walkable berkontribusi pada kesehatan fisik yang lebih baik dan menimbulkan koneksi serta modal sosial lebih tinggi pada komunitas yang mengedepankan jalan kaki.
Hal ini menunjukkan bahwa kampus yang dirancang dengan mempertimbangkan fasilitas pejalan kaki dapat menumbuhkan keterikatan yang lebih kuat dan lingkungan sosial yang lebih terhubung untuk membuat ruang kampus semakin hidup. Temuan-temuan ini menekankan pentingnya lingkungan yang ramah pejalan kaki untuk menciptakan ekosistem yang baik untuk kehidupan civitas academica di dalamnya.
Lalu apakah ada upaya untuk meningkatkan prioritas mobilitas dengan jalan kaki?
WHO telah merekomendasikan menekankan pentingnya desain infrastruktur dalam melindungi pengguna jalan yang rentan dengan menyediakan fasilitas trotoar, jalur sepeda, dan titik penyeberangan yang aman. Terlebih lagi, elemen konektivitas, aksesibilitas, keamanan, dan kenyamanan pejalan kaki merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam merancang kampus yang walkable.